Beras
ketan masak ditumbuk bergantian di atas wadah. Kayu-kayu penumbuk yang dilapis
plastik bening diikat karet gelang berdentuman. Ibu-ibu sedang menyelesaikan
pekerjaannya membuat “thethel”. Ya, makanan tradisional yang begitu sakral,
penanda kami sedang berkumpul dalam acara bertajuk “lamaran”. Sementara di
bagian rumah yang lain, perempuan muda di keluarga, ditemani para tetangga
sibuk menghias aneka hantaran dengan kertas, plastik, selotip dan pita-pita
cantik. Mulai dari beragam jajanan dan kue-kue, seperangkat pakaian dalam, alat
sholat dan juga alat make up, didandani cantik semata untuk gadis istimewa di
hari itu.
Tak
lama setelah matahari digusur bulan hingga menyisakan mega jingga, seusai para
lelaki turun dari mushala menunaikan sholat maghrib berjamaah, kami pun bersiap
beriringan menuju rumah si gadis yang akan dipinang. Aku yang sedari awal
penasaran tentang siapa si gadis itu menjadi makin tak sabar.
Pic is taken from Anaria Wedding
Acara
pun digelar. Sesuai protokol, basa-basi pembuka dilontarkan oleh kedua pihak laki-laki
dan perempuan dilanjut dengan acara inti yakni maksud kedatangan untuk
meminang. Semua mendengarkan dengan khidmat, kecuali aku yang sedari tadi
celingukan mencari-cari sosok gadis yang mencuri hati. Setelah acara
ramah-tamah alias makan-makan, barulah dia muncul disambut riuhnya tetamu. Oh,
benar yang dikasak-kusukkan orang-orang itu. Gadis ini memang ayu. Tapi dia
masih terlalu belia menurutku. Make up tebalnya bahkan tak mampu menyembunyikan
parasnya yang lugu. Berbalut kebaya beige berleher rendah, dadanya menyembul
malu-malu. Sungguh gadis ini dipaksa mendewasa dini. Rasanya baru kemarin dia pertama kali mendapati menstruasi. Kini ia sudah akan diperistri.
Aku
yang hidup di kota metropolitan ini sangsi. Masih adakah praktek perjodohan
anak di bawah umur? Demi apa mereka dinikahkan di usia yang begitu muda?
Rupanya tak ada unsur paksaan dalam kasus ini. Mereka tidak dijodohkan,
melainkan sudah lebih dulu setahun pacaran. Atas permintaan mereka sendiri
didukung argumen para tetua di keluarga, niatan untuk segera diresmikan itu pun
dieksekusi. Mungkin mereka pikir daripada terjadi hal yang tak diinginkan
nanti.
Hmm... apa cuma aku yang
gagap beradaptasi dengan pesatnya zaman bertransformasi? Aku seusia itu dulu,
mungkin hanya tahu sekolah dan main sepeda. Hanya bisa diam-diam naksir teman
sekelas tanpa berani berkata. Hanya bisa berandai-andai suatu hari akan
dipinang pangeran pujaan ketika dewasa. Dan aku hanya bisa menyadarkan diri,
bahwa perubahan zaman ini telah melahirkan manusia-manusia karbitan. Lihat saja,
kanak-kanak tak lagi menyanyikan balonku ada lima, tapi berdendang pacar lima
langkah. Didandani dengan bedak dan gincu juga mascara. ABG tak lagi berkumpul
mendiskusikan PR fisika tapi membanding-bandingkan besar dada teman perempuannya.
Belum keren kalau belum pacaran hingga penyandang status jomblo pun jadi bulan-bulanan
ketika malam mingguan. Sudah mengerti istilah orgasme di usia awal belasan. Dan
kalaupun sampai kebablasan, lucunya orang tuanya bisa berkilah “Namanya juga
anak jaman sekarang.”
#30DWC #Day3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar