"Ustadz dataaaangg... Ustadz dataaaanggg....."
Maka seperti dikomando
kaki-kaki kecil itu berebut masuk mushala. Yang masih jajan menyimpan sisanya
ke dalam tas. Seketika keriuhan berubah senyap. Semua duduk rapi di belakang
bangku masing-masing. Saya salah satu diantaranya. Ustadz Badruzzaman, kami
memanggilnya Ustadz Bed, segera mengambil posisi di depan para santri. Setelah
mengucap salam dan membaca doa pembuka kami sama-sama membaca hafalan Bahasa
Arab dari kitab (berbentuk fotokopian) yang disusun entah oleh siapa.
"Kitabun
kitab, daftarun buku, hibrun tinta, maktabun bangku, mimsahatun penghapus,
misthorotun penggaris..." dan seterusnya.
Kami
selalu bersemangat menghafalnya karena setiap akhirus sanah ada lomba hafalan
Bahasa Arab. Ustadz kami mengajar dengan sangat telaten meski dibayar ala
kadarnya. Ya, kami hanya dipungut sebesar Rp 250,- per minggu yang disetor
setiap hari Rabu. Uang sokongan, begitu sebutannya.
Selain
Ustadz Bed, ada juga Abah Harun yang tak lain adalah Ayah dari Ustadz Bed
sendiri. Dan yang jadi favorit santriwati adalah Ustadz Rofi'i karena masih
muda dan lumayan ganteng. Hihi, bahkan kanak-kanak usia SD pun sudah punya
definisi tentang lelaki ganteng. Selain muda dan ganteng, Ustadz Rofi'i juga
pandai bercerita. Maka setiap sehabis ngaji, kami selalu menodongnya untuk
bercerita tentang nabi-nabi, wali songo dan Abunawas.
Kami begitu
takdzim pada para Ustadz. Apabila kami melakukan pelanggaran, tak segan-segan
penjalin rotan melayang di telapak tangan kecil kami. Tak ada yang protes.
Bahkan ada orang tua santri yang terang-terangan berpesan,
"Kalau anak
saya nakal, pukul saja Ustadz. Ndak papa."
Pernah
saya ketahuan membolos gegara mbelani nonton film kartun Sailor Moon. Esoknya
ganjaran penjalin rotan pun terpaksa saya terima. Lima kali di tangan kanan,
lima di kiri. Ketika
beranjak SMP, saya ingin berhenti mengaji karena sudah capek dengan les dan
kegiatan ekskul. Permintaan itu ditanggapi Bapak dengan wejangan.
"Kamu
sekolah di sekolah negri yang pelajaran agamanya cumak dua jam seminggu.
Sementara Bapakmu ini gak lulus SD, gak pernah mondok juga. Terus darimana kamu
mau belajar agama? Gak penting nilai matematikamu sembilan. Wong nanti di
kuburan gak ditanya sama malaikat."
Sejak itu
saya gak pernah lagi minta berhenti mengaji, sampai SMA tetap jadi santri
Baitul Istianah. Ngangsu kawruh ilmu agama di sana. Mulai dari baca-tulis
Al-Qur'an, tajwid, tarikh, aqidah akhlak, fiqih, tauhid, Bahasa Arab sampai
nahwu dan sharraf. Oya, di Baitul Istianah juga sempat diajari maknani beberapa
kitab kuning (kitab klasik tanpa kharokat) dalam bahasa jawa halus yang sanggup
mambuat para santri stres. Bagaimana tidak? Kami terbiasa dengan bahasa jawa
Suroboyoan yang ngoko (kasar), sama sekali tidak akrab dengan kata-kata seperti
utawi, ingkang dan kelawan yang sangat sering muncul ketika maknani.
Belasan tahun
berlalu, Abah Harun telah bergelar almarhum. Ustadz Rofi'i sudah lama tak
mengajar. Hanya tersisa Ustadz Bed yang kini dibantu beberapa ustadz muda.
Semoga Baitul Isti'anah terus mengada sampai kami para alumninya beranak cucu
dan seterusnya. Semoga para orang tua kekinian masih sadar pentingnya mengaji
bagi anak-anak.
*Tulisan ini saya
dedikasikan untuk para Ustadz dan santri di Baitul Istianah, Kampung Baru
Bangilan Surabaya. Untuk para santri di mana pun berada, SELAMAT HARI SANTRI NASIONAL.
#30DWC #Day2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar